Mataku terbelalak. Aku benar-benar terkejut saat menemukan Firman, my old best friend sedang sakaw di sudut gang sempit yang kulewati secara tak sengaja karena nyasar. Firman, mengapa kita bertemu di situasi seperti ini? Batinku
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Firman merebut tasku dan mengacak-acak seluruh isinya. Ditemukannya sebuah silet, lalu ia mencoba mengayat tangannya, tapi segera kucegah. Dari arah belakang, seorang pria brewok mengguyurkan air dingin dalam ember yang dipegangnya. Aku hanya tercengang, tak ada kata yang keluar dari mulutku.
Inikah engkau, Firman? Teman satu SMP, satu kelas, satu bangku, satu hati dan satu perjuangan. Firman hatinya halus. Walau mendengar dentuman musik rock menjadi hobinya. Ia sangatlah lugu, rentan terhadap virus jahat pengaruh buruk dari lingkungan tempat tinggalnya. Itu juga yang membuat persahabatan kami pupus.Rokok. Barang makruh yang menjadikan kami musuh. Firman terlalu dini untuk mengonsumsinya saat ini. Selisih paham dan perubahan sifat semakin mempertebal dinding permusuhaan antara kami. Kami pun berpisah saat SMA. Tapi, setengah hatiku dibawa olehnya. Sehingga usahaku untuk mencarinya tak pernah surut.
Akhirnya, firman pingsan. Setelah beberapa kali diguyur air dan pemberontakan ia lakukan. Ia mencapai puncak sakawnya. Hatiku tercabik melihat peristiwa itu. Diam-diam kuperhatikan, pria brewok yang kuketahui ayah tirinya itu meneteskan air mata.
“kemarin, dia ngambil ayam tetangga. Untuk apa lagi kalau bukan beli barang itu?” teriaknya mengejutkanku. Matanya masih sembab.
Firman korban broken home. Ia menganggap pria brewok tadi adalah perebut singgasana posisi ayah kandung yang diseganinya. Kebenciannya kepada pria brewok itu membuatnya salah jalan.
Kutunggu Firman hingga sadar. Kupegang tangannya. Kuusap rambutnya, persis seperti yang dilakukannya dulu saat menguatkanku.
“Adi...,” panggilnya lirih.
“Ya...,” jawabku
“Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu tak mengingatkanku? Dan, kenapa dulu kita bermusuhan?”
Aku diam. Jawaban apa yang akan kuberikan kepada Firman? Aku memang salah. Seharusnya aku memgingatkan Firman. Bukan malah memusuhinya. Firman butuh aku saat itu, butuh uluran kedua tanganku unutk mencegahnya terjerembab dalam lembah hitam. Sahabat baikkah aku? Yang membenci Firman, bukan kelakuannya.
Tanpa sadar, butiran bening jatuh dari sudut mataku. Aku pulang dengan keadaan tak tenang. Meninggalkan Firman dalam kesepian batin akan cinta. Besok, aku akan membawanya ke pusat rehab.
***
Pagi yang cerah, kuawali langkah dengan bibir merekah. Aku tersenyum mengingat nanti akan membawa Firman ke panti rehabilitas narkoba. Membayangkan persahabatan kami yang kembali terulang.
Kuambil ponsel dalam sakuku. Tit...tit...tit... Dan sebuah pesan singkat terkirim.
Siaga satu, Bro! Siap-siap, aku mau meluncur ke rumahmu.
Sebuah pesan singkat untuk Firman terkirim. Sekali lagi, aku tersenyum karena sahbatku tercinta sedang menunggu di rumahnya.
Firman sakaw lagi. Om Iwan, pria brewok ayah tiri Firman mengguyurnya. Aku tak tega. Tapi, seseorang disampingku yang amat kenyang akan pengalaman tentang kasus ini membenarkannya. Setelah sakawnya pergi, kubawa Firman ke tempat tujuan.
Akhirnya, sampai juga. Firman memelukku erat.
“Doakan aku, Bro!” bisiknya.
“Pasti!” balasku meyakinkannya.
Benar-benar butuh jantung yang kuat untuk memasuki ruang rehab ini. Satu langkah kaki masuk ke tempat ini, kami dihidangkan teriakan histeris dari para pasien rehab. Mereka meraung kesakitan. Membanting-bantingkan tubuh mereka pada dinding beralaskan bantal. Di ruang lain, jantung kami lebih terpacu, oleh adegan pemberontakan seorang wanita sakaw. Lalu, seorang petugas memasukkannya ke dalam kolam air dingin. Tontonan ini lebih menyeramkan dari film horor.
“Aww!” aku berteriak kecil.
Firman mengenggam tanganku. Ia amat ketakutan. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
“kamu pasti bisa!” sahutku
Firman hanya mengangguk. Digenggamnya tanganku lebih kencang. Memang lebih sakit. Tapi lebih baik jika aku menahannya.
Firman resmi menjadi bagian dari tempat ini. Kulihat api semangat untuk sembuh membara dari pancaran matanya. Rasa senang bergejolak dalam batinku. Rasa senang yang tumbuh karena keberhasilan membangun kembali dinding persahabatan yang hancur. Rasa senang akan keberhasilan menyatukan separuh hatiku yang lama hilang. Kini, ada lembaran baru temat kami berhijrah menjadi lebih baik. Lembaran baru, untuk menyemaikan persahabatan kami.



0 komentar:
Posting Komentar